Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menolak perumpamaan bahwa ambang batas pencalonan presiden atau presidential treshold 20 – 25 persen pada UU Pemilu sebagai tiket sobek pada Pemilu Legislatif (Pileg) dan Pemilu Presiden (Pilpres) 2014 yang dipakai lagi pada Pemilu 2019.
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo mengatakan, perumpamaan ini merupakan opini yang dibangun oleh sejumlah pihak yang menolak presidential threshold pada besaran angka tersebut.
“Putusan MK No.14/XI-PUU/2013 diputuskan di saat tahapan Pilpres 2014 sedang berlangsung, sehingga tidak serta merta diberlakukan pada Pilpres 2014 tapi untuk Pilpres 2019,” kata Tjahjo seperti dilansir dari situs resmi Kemendagri, Minggu 23 Juli 2017.
Selain itu, dalam pelaksanaan Pemilu 2019, tidak ada rujukan lain, kecuali hasil Pileg 2019. Berbeda halnya pada 2024 nanti, maka dasarnya adalah 2019.
Menurut dia, kurang bijak bila membandingkan pemilu 2014 dengan 2019. “Mestinya berpikir ke depan pada 2024 atau 2029, karena tiket ini adalah hasil pemilu sebelumnya,” ucap Tjahjo.
Tjahjo menambahkan, UU Pemilu ini mengatur ke depan bukan mengatur ke belakang, sebagaimana Pasal 6A UUD 1945 harus dibaca dilengkap. Tercantum kalau tata cara pelaksanaan pemilihan presiden dan wapres lebih lanjut diatur dalam UU.
“Tentu ayat (5) pasal 6A berkorelasi dengan pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) dan berkorelasi dengan pasal 6A ayat (1), ayat (2), ayat ( 3) dan ayat (4),” ujar Tjahjo.
Dia mengatakan, kalau dipertimbangkan soal manfaat dari presidential threshold ini, buktinya 2 kali pemilu sebelumnya menunjukkan bahwa PT sangat positif dan menjadi alat seleksi awal capres/cawapres terpilih, di mana wajib mendapat dukungan 50 persen suara sah pemilu.
“Dukungan suara tersebut tersebar lebih 50 persen dari jumlah provinsi dan setiap provinsi tersebut minimal mendapat suara minimal 20 persen sebagaimana dimaksud pasal 6A ayat (3) UUD 45. capres dan cawapres sejak awal didesain kelasnya sebagai calon pemimpin negara,” kata Tjahjo.
Dengan demikian, presidential threshold sebagai alat seleksi awal sangat bermanfaat menuju terpilihnya pemimpin negara dalam pemilu. Adapun negara lain yang tidak menggunakan PT, tetap memiliki alat seleksi awal capres dan cawapres yang disebut pemilihan pendahuluan, seperti Amerika Serikat.
“Pada pilpres lalu di Amerika Serikat, Donald Trump bersaing dengan Hillary Clinton, mereka melalui lolos terpilih dalam proses pemilihan pendahuluan yang difasilitasi oleh penyelengara pemilu dan dibiayai oleh negara,” ujar Tjahjo.
Artinya negara demokrasi maju, menurut Tjahjo Kumolo, tetap memiliki instrumen seleksi awal capres atau cawapres. Hanya bedanya, Indonesia hari ini menggunakan sistem ambang batas pencalonan.
Sumber : Liputan6