Pergerakan harga logam industri sepanjang semester I-2017 terhitung variatif. Imbas kekhawatiran global akan pasokan yang meningkat jadi katalis yang mengganjal harga nikel dan timah. Sementara fundamental tembaga dan aluminium dipandang cukup positif sepanjang paruh pertama tahun ini.
Aluminium jadi komoditas logam industri yang mencatatkan kinerja paling ciamik. Pada Jumat (30/6), harga aluminium kontrak pengiriman tiga bulan di London Metal Exchange naik 0,21% menjadi US$ 1.919 per metrik ton. Sepanjang semester I-2017, harganya menanjak 13,34%.
Kinerja tembaga juga tak kalah cemerlang dari aluminium. Pada akhir semester I-2017, harga tembaga kontrak pengiriman tiga bulan di London Metal Exchange mencapai US$ 5.937 per metrik ton. Artinya, terjadi kenaikan sekitar 7,25% dalam enam bulan pertama 2017.
Sementara harga timah justru merosot. Pada Jumat (30/6), timah kontrak pengiriman tiga bulan di London Metal Exchange dilego seharga US$ 19.975 per metrik ton. Artinya sepanjang semester I-2017 harga komoditas ini melorot sekitar 5,44%.
Nikel jadi komoditas logam industri yang kinerjanya paling melempem di semester I-2017. Buktinya harga nikel kontrak pengiriman tiga bulan di London Metal Exchange anjlok 6,29% jadi US$ 9.390 per metrik ton dalam enam bulan pertama 2017.
Lantas, bagaimana prospek komoditas logam industri ke depan? Simak analisa para analis berikut ini.
– Aluminium
Harga aluminium bergerak positif berkat perbaikan ekonomi China dan Amerika Serikat (AS). Hal ini meningkatkan harapan adanya kenaikan permintaan. Apalagi, China berencana memangkas produksi aluminium hingga 3,3 juta ton selama musim dingin untuk mengurangi polusi udara.
Pada 30 Maret, harga aluminium sempat mencapai level tertinggi sejak Mei 2015, yakni di US$ 1.972 per metrik ton. Tapi, Analis Central Capital Futures Wahyu Tribowo Laksono mengatakan, harga aluminium melandai di akhir semester satu, tertahan spekulasi kenaikan suku bunga The Fed pertengahan Juni lalu.
Di saat yang sama, pelaku pasar juga mengkhawatirkan kemungkinan perlambatan ekonomi China di semester II-2017. Wahyu memprediksi harga aluminium akan bergerak pada kisaran US$ 1.850-US$ 1.950 per metrik ton hingga akhir tahun.
– Tembaga
Gangguan pasokan akibat mogok kerja di tambang tembaga di Cile dan Indonesia berhasil menerbangkan harga tembaga. Tambah lagi, data industri manufaktur di Eropa, AS dan China membaik. “Wajar harga tembaga menguat, karena saat industri manufaktur pulih maka permintaan tembaga pun ikut menanjak,” ujar Direktur Garuda Berjangka Ibrahim, kemarin.
Perkiraan adanya lonjakan permintaan dari sektor mobil listrik menjadi katalis positif bagi harga tembaga di paruh kedua tahun ini. Hanya saja, masih ada sentimen negatif yang membayangi pergerakan harga komoditas ini.
Peluang Fed funds rate naik satu kali lagi tahun ini bisa mengganjal pergerakan harga. Harga tembaga juga tertekan pelemahan harga minyak. Hal ini membuat Ibrahim memperkirakan harga tembaga di akhir 2017 bergerak di antara US$ 5.600-US$ 6.200 per metrik ton.
– Timah
Menurut Ibrahim, terpuruknya harga komoditas timah bermula saat Myanmar menggenjot produksi timah. Padahal di saat yang sama permintaan timah sedang turun, dan akhirnya membebani harga.
Ini terlihat dari volume transaksi timah di LME sepanjang periode Januari-April 2017, yang turun 14% menjadi 16.152 lot. Beban lainnya juga datang dari pelonggaran ekspor dan izin aktivitas smelter China yang dibebaskan.
“Namun dengan sektor manufaktur yang menggeliat di China dan AS, maka permintaan timah bisa terbang tinggi,” tutur Ibrahim. Apalagi timah juga banyak digunakan untuk elektronik.
Jadi, selama ekonomi membaik, permintaan timah akan stabil. Ibrahim menganalisa harga timah bisa kembali perkasa di kisaran US$ 18.900-US$ 22.500 per metrik ton.
– Nikel
Menurut Wahyu, harga nikel mulai tertekan memasuki kuartal II. “Isu pasokan, terutama dari Filipina dan Indonesia, menjadi sentimen utama penggerak harga,” papar dia.
Pada awal tahun, laju nikel perkasa setelah Presiden Filipina Rodrigo Duterte melakukan audit lingkungan pada perusahaan tambang. Hal tersebut menghambat produksi nikel Filipina.
Tetapi, langkah Indonesia yang mencabut larangan ekspor bijih nikel membuat penguatan harga nikel melambat. Pengiriman bijih nikel dari Indonesia dikhawatirkan menambah pasokan global.
PT Aneka Tambang pada Mei lalu menyatakan telah mengirim 165.000 ton nikel ke China setelah adanya pencabutan larangan ekspor. Di saat yang sama, Sekretaris Lingkungan Gina Lopez yang selama ini telah menutup sejumlah tambang nikel Filipina diberhentikan.
Tren harga nikel tahun ini diprediksi masih akan negatif. “Semester kedua ini sepertinya akan bergerak di kisaran US$ 8.000-US$ 11.000. Tetapi harga cenderung rentan koreksi,” cetus Wahyu.